7 Mar 2011

Sesejuk Embun Setegar Karang

Wajah Alif menengadah ke atas langit. Tatapannya Kosong. Benturan ombak di pantai Ancol sore itu tidak sedikitpun mengusik lamunannya. Alif terpaku seperti batu karang tak bernyawa. Lalu lalang wisatawan tak dihiraukannya. Serombongan gadis remaja yang melintasinya tak bosan bosannya melirik wajahnya. Sangat sempurna, pikir mereka. Wajah yang bersih dan tampan. Tapi tak satupun mereka tahu bahwa di wajah yang tampan itu, ada sepasang mata yang nanar, redup dan memerah, teramat lelah karena cinta yang ia tanam sendiri di dalam dadanya.


“Kalau bapak belum merestui, aku tidak bisa Mas ” suara Ana menggelayut dalam angan Alif.

“Aku juga tidak ingin menikahi Adik tanpa restu bapak. Aku akan buktikan Dik, meski aku cacat, aku bisa sukses, bisa mendapat pekerjaan, bisa punya penghasilan seperti yang lain. Tidak Dik, Tidak.,Kita sudah berjanji tidak akan menyerah karena cobaan ini. Aku tak akan menyerah sampai bapak merestui kita”.

“Ana juga sangat mencintai Mas Alif, tapi Ana tidak bisa melawan bapak Mas.” Butiran air bening membasahi kelopak mata Ana.

Air mata Ana kala itulah yang menjelma menjadi air mata Alif di tepi pantai Ancol saat ini. “ Ya Allah,,.” Alif menarik nafas panjang. Matanya sembab. Bayangan Ana memenuhi rongga hatinya, mengisi setiap relung jiwanya.

Angan Alif terus menerus berjalan mundur, kembali ke masa lalunya. Terbayang kembali saat depressi hebat yang ia alami karena vonis dokter bahwa penyakit trakoma mulai menyerang kedua matanya.

“Setiap orang punya cobaannya masing masing, begitulah cara Alloh menjadikan hambaNya mulia karena kesabarannya Mas. Allah menguji kita untuk menjadikan kita kuat. Hanya tinggal satu semester lagi Mas Alif akan lulus kemudian diwisuda. Mas Alif harus kuat. “Kata kata Ana ibarat embun pagi yang menyejukkan Alif setiap hari. Analah yang menanamkan bibit harapan baru dalam dada Alif. Dengan sabar dan penuh cinta Ana menyiraminya, menumbuhkan dan menjaganya tetap terjaga dalam dada Alif.

Alif sadar, penyakitnya tidak akan bisa disembuhkan. Matanya sedikit demi sedikit akan kehilangan kemampuan melihat, dan suatu saat nanti, ia akan menjadi orang buta. Tapi Alif semakin kuat karena Ana. Semua kebaikan Ana menjadi benih cinta dalam jiwa Alif. Cinta yang menghapus nyeri di mata Alif dengan seketika. Cinta yang menghilangkan rasa sakit karena trakoma yang menyerang matanya. Cintanya menumbuhkan tekad kuat bagaikan batu karang yang tak bergeming oleh ombak di lautan. Ia akan berjuang untuk tetap menjaga cinta Ana dalam dadanya.

Harapan demi harapan baru yang disemai Ana terus tumbuh subur dalam jiwa Alif. Kata kata Ana bak mantra sakti yang mengobati keputusasaannya. Alif pun berhasil menyelesaikan kuliahnya dan akhirnya menyandang gelar sarjana. Setelah lulus, Alif masuk ke yayasan tuna netra milik departemen sosial di Jakarta. Alif mulai belajar di SLB, mengenal huruf braile, dan mendalami keterampilan memijat.

Alif selalu percaya kata kata Ana, bahwa sejatinya manusia ditimpa ujian untuk menjadikannya lebih mulia di sisiNya. Baik dalam susah dan senang, suka maupun duka, menjadi kaya maupun miskin semua itu adalah ujian. Karena Analah, Alif menjadi yakin bahwa tidak akan pernah ada jalan yang buntu dalam setiap ujian yang menimpanya, karena pembuat ujian adalah Allah, pencipta yang maha pengasih, juga maha penyayang. Dia juga maha tahu dan maha segalanya. Mana mungkin Allah lupa membuat jalan keluar untuk cobaan dan ujian yang dibuatNya sendiri. Tidak mungkin.

Keyakinan dan kegigihan Alif tidak sia sia. Saat ini ia menjadi ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia. Alif bekerja sebagai instruktur pijat refeksi dan pengajar tetap anatomi saraf tubuh di Yayasan Destarata, sebuah yayasan netra terbesar di Jakarta. Di yayasan inilah, Alif saat ini ibarat malaikat penolong bagi semua anak netra yang tinggal di yayasan itu. Alif lah sumber kekuatan bagi mereka. Seperti Ana yang selalu memberikan sejuknya embun harapan di dalam dada Alif.

Alif bangkit sambil mengusap kedua matanya. Sinar senja kemerahan menghiasi langit di pantai Ancol sore itu. Debur ombak sahut menyahut menyapa alam tanpa henti. Alif kembali berjalan menyusuri tepi pantai. Hampir 80 persen kemampuan melihatnya telah hilang, tapi samar samar Alif masih bisa melihat matahari bulat memerah di ufuk barat.

Angan Alif tak henti hentinya berjalan mundur menuju masa lalunya. Di kenangnya kembali saat ia menerima surat perpisahan dari Ana.

“Ana terpaksa mengambil keputusan ini Mas, Ana tidak bisa menolak kemauan Bapak dan Ibu. Besok Ana akan berangkat ke Australia. Ana akan melanjutkan S2 di sana,. Rupanya inilah cara Bapak dan Ibu memisahkan kita Mas. Ana minta maaf. Meski nanti Ana jauh, Mas Alif harus tetap menjadi Alif yang Ana kenal. Tetap menjadi mas Alif yang gagah, yang tegar, yang mengagumkan Ana di setiap sisinya. Mas Alif harus tetap berjuang menjadi orang yang berguna. Ana berharap, suatu hari nanti Ana mendengar kabar Mas Alif telah berhasil menjadi orang besar. Menjadi orang yang dicintai semua orang. Bukan dengan cinta belas kasihan karena mas Alif tidak bisa melihat, tapi dengan cinta yang sepenuh jiwa. Seperti Ana mencintai laut beserta ikan ikannya. Juga seperti Ana mencintai langit se bintang bintangnya. Seperti itulah Ana mencintai mas Alif apapun keadaannya. Di Autralia nanti, Ana pasti akan selalu berdoa agar Mas Alif menjadi orang sukses, dan bapak ibu pasti akan merestui kita” Air mata Alif menetes waktu membaca surat Ana kala itu.

Tiga tahun Ana melanjutkan studi nya di Australia. Bahkan Ana berhasil menyelesaikan S3 nya di sana. Tiga tahun pula Alif sekuat tenaga berjuang melawan trakoma yang menyerang kedua matanya. Surat Ana menjadi energi yang tiada habisnya bagi Alif. Pelajaran yang seharusnya diajarkan beberapa semester dikuasainya hanya dalam beberapa bulan. Belum ada satu semester, Alif mendapat kesempatan bimbingan khusus di Yayasan Destarata, sebuah yayasan terbesar tuna netra di Jakarta. Begitulah, Alif yang cacat mata menjadi jauh lebih gigih dibanding Alif waktu kuliah dulu. Akhirnya, setelah lulus, Alif dipercaya mengajar dan menjadi pengurus di Yayasan Destarata.

Tapi manusia tetaplah manusia. Ia hanya bisa bermimpi, berharap dan berdoa. Takdir tetaplah kuasa Allah semata. Alif datang menemui ayah Ana pagi ini. Ia ingin melamar Ana, tapi kesuksesan Alif rupanya tak sedikitpun menggoyahkan keputusan orang tua Ana.

“Saya berjanji akan menjaga dan membahagiakan Ana, Pak. Saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak” Alif berusaha meyakinkan ayah Ana. Satu bulan lagi Ana akan pulang ke Indonesia. Alif ingin lamarannya menjadi kejutan terindah untuk Ana saat kepulangannya nanti.

“Keputusan saya sudah bulat Nak Alif, Ana adalah anak saya satu satunya. Saya hanya mau menyerahkannya pada orang yang tepat. Saya sudah memilihkan calon suami untuknya, bahkan saat ini kami semua sedang mempersiapkan pernikahannya. Calon suaminya seorang pengusaha muda yang sukses, dia adalah anak teman bisnis saya. Setelah menikah, mereka akan saya minta mengurus perusahaan saya” Itulah jawaban Ayah Ana kala itu. Jawaban yang membuat Alif tak mampu menyusun kata kata lagi.

Akhirnya Alif pamit dari rumah Ana dengan hati yang sangat hancur. Hancur berkeping sehancur hancurnya. Alif tidak langsung pulang ke asrama Yayasan Destarata. Hingga saat inilah Alif masih berada dipantai Ancol. Alif ingin menumpahkan semua emosinya di sana. Ia ingin merenungi, menyesali dan menagisi nasibnya. Setiap mengingat kata kata ayah Ana, Ia seperti kehilangan semua impiannya. Ia merasa telah kehilangan Ana yang selama ini menjadi mata air dalam dadanya.

Senja di pantai Ancol perlahan beranjak berganti petang. Alif bangkit sambil mengusap ngusap kedua matanya. Akhirnya, Ia pun memutuskan kembali pulang ke asramanya.

Sesampainya di asrama, Alif langsung merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Tidak ada sedikit pun keinginannya makan, minum, apalagi membaca buku dengan tulisan braile yang bertumpuk di ruangannya malam ini. Padahal biasanya, Alif membaca buku buku tersebut setiap hari.

Alif sadar bahwa Ana telah menjadi milik orang lain. Alif ingin berusaha melupakan Ana, menghapus wajah Ana dalam sudut hatinya, mengusir Ana dari kelopak matanya. Namun Alif tak juga mampu menghapus cinta Ana dalam dadanya. Dengan kondisi matanya yang semakin parah, Alif tak berani memikirkan menikahi wanita selain Ana. Satu satunya wanita yang Alif percayai bisa menerima kondisinya hanyalah Ana. Tapi sekarang Alif harus menghadapi kenyataan, bahwa Ana akan menjadi milik orang lain. Hati Alif perih tiada terkira.

Hidup adalah jalinan asa demi asa. Harapan yang hilang harus segera berganti dengan harapan yang baru. Seperti itulah, hidup seseorang akan segera berakhir ketika ia tak punya lagi harapan. Ia akan seperti Alif. Hidupnya seperti berakhir tanpa Ana.

Keesokan harinya Alif tidak masuk mengajar. Tanpa sengaja, salah seorang pengurus yayasan menemukan Alif dalam keadaan pinsan di pintu kamarnya. Akhirnya Alif dibawa ke rumah sakit oleh pengurus yayasan.

Sudah tiga hari Alif dirawat di rumah sakit. Perih hatinya tidak tersembuhkan dengan infus dan obat. Pandangan Alif menerawang, ia terus mengingat kata kata Ana.

“Ana benar, aku harus menjadi orang yang berguna. Meski bukan untuk Ana, aku akan memberikan yang terbaik untuk orang orang netra sepertiku ”. Tekad Alif hidup kembali. Harapannya kembali tumbuh. Hidupnya terselamatkan dengan harapan baru yang ia tanam dengan sepenuh jiwanya. Akhirnya, beberapa hari kemudian Alif sembuh dari sakitnya.

Alif mulai bangkit dan mencoba tegar. Yang ia pikirkan sekarang adalah orang orang yang senasib dengannya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk mereka.

Keteguhan Alif bagaikan batu karang dilautan, meskipun kondisinya sendiri sudah hampir buta, ia tetap bekerja keras, ia tidak pernah lelah membimbing murid muridnya di Yayasan Destarata yang saat ini dipimpinnya. Kedisiplinannya, ketekunannya dan kegigihannya menjadi teladan bagi semua orang di yayasan.

Hari hari pun berlalu, minggu dan bulan berganti, Alif memimpin yayasannya dengan baik. Kini Yayasan Destarata memiliki cabang di Solo, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Ia telah berhasil menggapai cita citanya untuk membuat dirinya seorang netra yang tetap berguna. Hanya saja, Alif tetap tidak tahu kapankah ia mampu menghapus Ana dalam hatinya.

-- end --

2 komentar:

  1. Luar biasa.... ini cikal bakal Process engineer jadi Novelis. mudah2an bs menyaingi El-Sirazy.. heheheheee

    Salut buat postingnya.

    BalasHapus
  2. Subhanallah, kisahnya layak dibukukan, ayoo akselerasi karya menuju kemuliaan anak-anak bangsa;

    BalasHapus

Referensi Untuk Check Ayat Al-Quran